Perkembangan Kota (Urbanisasi) Di Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar


Kota merupakan suatu daerah yang memiliki suasana yang ramai disetiap tempat dan waktu. Keramaian tersebut terbentuk akibat banyaknya aktifitas sebagai dampak dari banyak munculnya fasilitas – fasilitas publik yang terdapat pada daerah perkotaan, seperti tempat hiburan, mall, supermarket, rumah sakit, pasar, dan sebagainya. Fasilitas sebuah daerah yang lengkap merupakan ciri utama sebuah daerah yang dinamakan kota, artinya daerah tersebut telah mampu secara mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Berkembangnya sebuah kota tidak dapat terlepas dari pengaruh kota – kota lain yang telah maju atau telah menjadi besar sebelumnya. Arti dari pernyataan tersebut adalah kota yang telah besar akan secara terus menerus melakukan perkembangan kota dan akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang kemudian disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl).Hal inilah yang akan dibahas dalam laporan ini, yakni proses perkembangan kota di daerah Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Perkembangan ke arah kota di Desa Jaten merupakan pengaruh dari perkembangan kota yang terlebih dahulu maju yaitu Kota Surakarta/Solo. Desa Jaten merupakan daerah perbatasan antara Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar sehingga dapat disebut sebagai daerah pinggiran kota (urban fringe), jadi dapat disimpulkan juga bahwa Desa Jaten merupakan kenampakan dari sebuah gejala urban sprawl (pemekaran kota) dari Kota Surakarta. 

Proses perkembangan dan urbanisasi kota-kota di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai oleh adanya restrukturisasi internal kota-kota besarnya. Kota-kota di Indonesia pada beberapa dekade mendatang cenderung akan terus berkembang baik secara demografis, fisik, maupun spasial. Fenomena menyusutnya penduduk perdesaan dalam dua dekade yang lalu akibat adanya migrasi besar-besaran penduduk perdesaan. Hal ini memberi indikasi bahwa kota-kota di Indonesia akan berkembang pesat baik secara demografis maupun spasial di masa mendatang. 

DASAR TEORI 

Urbanisasi merupakan proses perpindahan sifat fisik suatu daerah dari desa menjadi kota. Urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sebuah kota. Ada dua pendekatan ekologis yang akan digunakan dalam menjelaskan perkembangan kota, yakni pendekatan ekologis dan pendekatan organisasional (struktur sosial). Pendekatan ekologis, menjelaskan pertumbuhan kota secara alamiah (natural growth) sekaligus juga menjelaskan pola – pola tertentu dari perkembangan alamiah tersebut. 

Dalam sosiologi perkotaan, pola perkembangan ekologi kota antara lain dapat ditelaah dari tiga teori, yaitu teori konsentrik dari Burgess, teori sektor dari Hoyt, dan teori inti berganda yang dikembangkan oleh Harris dan Ullman. Sedangkan pendekatan struktur sosial meletakkan penekanan pada rangkaian pola – pola tingkah laku yang khusus. Teori konsentrik yang dikembangkan oleh Burgess menyatakan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola lingkungan konsentrik. Wilayah – wilayah sosial dengan ciri – ciri sosial dan ekonomi kota tersusun menyerupai bentuk lingkaran bertingkat mengelilingi pusat. Variabel yang digunakan untuk mengukur masing – masing zona dari lingkaran konsentrik ini adalah struktur harga tanah, jadi semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanahnya dan semakin jauh dari pusat kota maka harga tanah akan semakin murah. Teori lingkaran konsentris ini oleh Hoyt diganti dengan model sektor. Secara singkat teori ini menyatakan bahwa daerah – daerah kelas satu cenderung berada di tepian terluar dari satu atau lebih sektor. Sedangkan daerah - daerah murah cenderung berada di pusat suatu sektor. Pada saat – saat terjadi perkembangan kota, daerah – daerah kelas satu tersebut semakin menggeser keluar, tetapi tetap berada di sepanjang sektor, dan tidak membentuk lingkaran sebagaimana halnya menurut teori konsentrik. Daerah industri berkembang sepanjang lembah sungai, jalan raya atau jalan kereta, dan tidak dalam bentuk daerah lingkaran di sekitar daerah pusat bisnis. Sedangkan, teori inti ganda yang dilontarkan oleh Harris dan Ulman’s menyatakan bahwa suatu kota terdiri dari beberapa ini atau pusat perkembangan. Setiap pusat cenderung diwarnai oleh satu jenis kegiatan seperti, pemerintahan, rekreasi, pendidikan, perdagangan, dan sebagainya. Pada perkembangan kota lebih lanjut, selalu terjadi pusat – pusat kegiatan baru yang memisahkan diri dari pusat kegiatan lama atau pusat kota. 

Pola – pola perkembangan ekologi kota diatas jika dihubungkan dengan kondisi perkembangan kota di Indonesia, mungkin tidak menunjukkan perkembangan yang sama, karena pada dasarnya model – model perkembangan kota disesuaikan dengan kondisi ekologis kota yang bersangkutan dimana pengamatan tersebut berlangsung. Namun demikian, pendekatan teoritis tersebut secara umum dapat memberikan petunjuk yang berharga untuk mempelajari dan menganalisis perkembangan kota. 
Berdasarkan ketiga teori diatas, secara umum arah perkembangan kota mengikuti pola – pola tertentu, antara lain : 
  1. Mengikuti pola perkembangan sepanjang jalur – jalur komunikasi seperti jalan, sungai, pantai, dan sebagainya. Perkembangan seperti ini adalah perkembangan alamiah dan dapat kita jumpai di kota – kota di seluruh Indonesia. Perkembangan kota yang mengikuti jalur transportasi ini selanjutnya akan membentuk suatu proses conurbation dan agglomeration, yaitu berdirinya bangunan – bangunan baru yang memanjang mengikuti jalur transportasi sehingga memungkinkan terjadi pertemuan conurbation antarkota yang berdekatan. Pertemuan antara dua conurbation ini disebut agglomeration, yakni menyatunya dua atau lebih kota yang berdekatan karena adanya perkembangan kota. 
  2. Menurut pola perkembangan pusat – pusat aktivitas tertentu, misalnya sekitar Taman Hiburan Rakyat (THR), sekitar Universitas yang besar, sekitar terminal, dan sebagainya. Maka ada kota – kota yang perkembangannya secara historis mengikuti perkembangan ini. 
  3. Mengikuti pola perkembangan dari pusat, seperti halnya kota – kota yang sudah lama perkembangannya, contohnya seperti Kota Jakarta. 
Sementara itu, perkembangan struktur sosial di daerah perkotaan ditandai oleh berkembangnya gejala urbanisme, yakni suatu gaya hidup khas perkotaan. Ada tiga faktor yang menyebabkan perkembangan ini yaitu, bertambahnya jumlah populasi (size), meningkatnya jumlah penduduk (density), dan meningkatnya heterogenitas penduduk (heterogenity). Berkembangnya urbanisme sebagai gaya hidup perkotaan diidentifikasi dari pola – pola hubungan sosial antara sesama warga kota tersebut, bahwa dengan semakin banyak jumlah populasi, meningkatnya kepadatan penduduk dan tingginya heterogenitas, maka masing – masing warga tidak dapat lagi mengembangkan pola – pola hubungan sosial yang intensif, melainkan hubungan sosial yang dapat dikembangkan dalam situasi seperti ini hanya bersifat impersonal, karena masing – masing warga selain disibukkan oleh kegiatannya sendiri, juga datang dari latar belakang sosial budaya yang beragam. 

Proses perkembangan kota dengan segala permasalahannya, juga tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang konsep urbanisasi, karena terjadinya perkembangan kota terkait dengan fenomena urbanisasi. Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses pengkotaan merupakan proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa), dan urbanisasi juga berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota (urbanwad migration). Kedua pengertian tersebut tidak dapat dipisahkan dan ada dalam lingkup proses perkembangan kota. Urbanisasi sebagai proses pengkotaan lebih menekankan perhatiannya pada proses perkembangan masyarakatnya. Sedangkan konsep urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk lebih memperhatikan proses pergeseran penduduknya yang disebabkan oleh perkembangan tersebut. 

Burgess juga mengemukakan bahwa urbanisasi bukan hanya sekedar pemusatan dan pertumbuhan penduduk, melainkan juga melibatkan berbagai faktor seperti kegiatan – kegiatan komersial terutama yang berkaitan dengan rekreasi, spesialisasi pekerjaan dan minat atau kepentingan, perkembangan alat – alat komunikasi baru – telepon, telegram, bioskop, radio, surat kabar, dan majalah – majalah sirkulasi masa. Burgess memandang proses perkembangan sebuah kota bukan semata – mata masalah pertambahan penduduk, tetapi lebih jauh berkaitan dengan proses pengkotaan yang terjadi pada suatu wilayah dan mempengaruhi masyarakat yang tinggal di wilayah yang bersangkutan. 

Pertumbuhan penduduk dan kegiatan perkotaan yang pesat juga telah meningkatkan permintaan akan lahan. Terutama untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, terjadi peningkatan harga tanah yang hampir tak terjangkau oleh masyarakat umum. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadi gejala pergeseran penduduk ke arah pinggiran kota. Sebagaimana yang diidentifikasi oleh Spencer, ada beberapa alasan yang mendorong perpindahan penduduk ke daerah pinggiran kota : 
  1. Penggunaan tanah untuk permukiman di kota harus bersaing dengan tanah lain yang lebih komersial, sehingga tanah yang tersedia untuk permukiman semakin berkurang. 
  2. Penduduk kota semakin meningkat jumlahnya. 
  3. Sarana transportasi menuju pinggiran kota menjadi lebih baik dan fleksibel, sehingga memungkinkan penduduk dan perusahaan – perusahaan pindah lebih jauh dari pusat – pusat bisnis (kota), menyebar ke pinggiran kota mengikuti jalur transportasi. 
  4. Orang – orang kota menginginkan tempat tinggal yang lebih luas dan tenang, karena mereka merasa bahwa tempat tinggal di kota sangat padat dan sesak. 
  5. Pemerintah telah membantu penduduk untuk mengusahakan pemilikan rumah yang menarik dengan syarat – syarat pembayaran yang ringan di daerah pinggiran kota. 
Proses pertumbuhan kota yang melibatkan perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran kota sebagaimana digambarkan diatas, lebih menunjukkan proses alamiah (natural) daripada terencana, kondisi perkembangan ini merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak terkendali. 

Gejala perluasan kota baik secara terencana maupun natural, menimbulkan gejala baru di pinggiran kota yaitu berubahnya konsep fungsi tanah khususnya bagi penduduk asli. Sebelum terjadinya arus perluasan kota, nilai tanah terutama dilihat dari segi fungsinya sebagai lahan untuk menghasilkan komoditas pertanian. Setelah berkembangnya arus perluasan kota, maka konsep tanah berubah mempunyai nilai komersial sebagai “barang” yang dapat diperjualbelikan seperti layaknya barang komoditas. Perubahan ini juga berkaitan dengan meningkatnya harga tanah di lokasi yang bersangkutan, terutama untuk tanah yang terletak di sekitar jalur transportasi. 

Perubahan secara sosial dan ekonomi masyarakat pinggiran kota merupakan salah satu ciri perkembangan suatu daerah ke arah kota. Istilah pinggiran kota menunjuk pada suatu kawasan yang terjadi pertumbuhan suburban dan tata guna lahan bercampur antara keperluan rural dengan keperluarn urban, sehingga terbentuklah suatu daerah peralihan antara perkotaan dan pedesaan. Kurtz dan Eicher mendefinisikan daerah pinggiran kota sebagai berikut, 
  1. Daerah interpenetrasi desa – kota yang ditandai oleh perubahan penggunaan lahan periferal kepada penggunaan lahan kota. 
  2. Daerah yang meliputi suburban, kota – kota satelit, dan berbagai teritorial lainnya yang lokasinya berdekatan dengan pusat kota, dimana tenaga kerjanya terlibat dalam aktifitas kerja non-pertanian. 
  3. Suatu daerah di luar batas kota yang resmi, tetapi berada dalam jarak ulang alik (commuting distance). 
  4. Suatu daerah pedesaan yang terbuka dan tempat tinggal para individu yang sedang bekerja di kota. 
  5. Suatu daerah yang memiliki bidang pekerjaan dan orientasi kota dan desa yang saling terjadi kontak. 
Daerah pinggiran kota kemudian dalam hubungannya dengan kota dan secara spasial berada dalam hinterland agricultur, yang merupakan daerah dengan tata guna lahan yang mengalami perubahan, kepadatan penduduk meningkat secara cepat dan harga lahan meningkat pula. Secara sosiologis, daerah pinggiran kota dapat dikatakan sebagai daerah perluasan dan zona pengaturan lahan yang serampangan (lax-zoning regulations), yang memungkinkan konstruksi ruangan secara sembarangan untuk pembangunan perumahan. 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Kajian tentang perkembangan kota ini dilakukan di Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Penelitian ke daerah tersebut kami lakukan pada tanggal 22 Juni 2011. Sedangkan metode yang kami gunakan dalam penelitian tersebut meliputi dua metode, yaitu metode observasi (pengamatan) dan metode wawancara. Titik pengamatan yang saya gunakan adalah 11 titik, dengan asumsi bahwa lokasi tersebut merupakan tempat yang belum ada di citra google earth sehingga butuh pengamatan lebih lanjut tentang perkembangannya, berikut titik sampel yang digunakan (gambar 1).

Gambar 1. Lokasi titik pengamatan perkembangan kota di Desa Jaten

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bagaimana perkembangan Desa Jaten untuk menuju ke arah bentuk morfologi kota. Sebelum memaparkan hasilnya, terlebih dahulu akan dideskripsikan dimana letak/lokasi Desa Jaten agar informasi secara spasial (ruang) akan menjadi jelas, yaitu yang berkaitan dengan faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan Desa Jaten untuk menuju ke arah kota tersebut. Desa Jaten termasuk daerah yang secara administrasi masuk Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar. Lokasi Desa Jaten tersebut dapat digolongkan juga masuk daerah suburban atau daerah pinggiran Kota Surakarta, karena memang lokasi Desa Jaten terletak di bagian paling barat Kabupaten Karanganyar yang sekaligus berbatasan dengan Kota Surakarta, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2. 
Gambar 2. Citra Satelit Desa Jaten tahun 2009 

Fenomena perkembangan kota yang terjadi di Desa Jaten dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Oleh sebab itu saya membaginya menjadi sebagai berikut.
  • Kondisi Fisik 
Kondisi fisik yang akan dikaji adalah penggunaan lahan yang meliputi luasannya serta komposisi yang menyusunnya. Penggunaan lahan di Desa Jaten diantaranya adalah sebagai berikut 
- Sawah 
- Permukiman 
- Pabrik/Industri 
- Lahan kosong 
Hasil tersebut didasarkan dari informasi yang diperoleh dari citra satelit Desa Jaten serta diperkuat oleh pengamatan secara langsung. Citra satelit Desa Jaten yang menunjukkan penggunaan lahannya ditunjukkan oleh gambar 3. 
Gambar 3. Penggunaan lahan Desa Jaten berdasarkan citra satelit tahun 2009 

Dari citra tersebut pula akan diperoleh juga informasi tentang luas penggunaan lahannya. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan citra satelit tersebut maka luas penggunaan lahan Desa Jaten disajikan dalam tabel 1 berikut ini, 

Tabel 1. Luas penggunaan lahan Desa Jaten 
Sumber : Pengukuran dengan Google Earth 

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Desa Jaten memang masih memiliki luas sawah yang masih cukup besar yakni 51% dari seluruh wilayahnya. Namun, dalam sudut pandang ini kawasan permukiman juga telah mulai mendominasi diantara penggunaan lahan yang lain, yakni sekitar 37% dari luas Desa Jaten. Angka tersebut sebenarnya sudah dapat dikatakan cukup besar, sebab sepanjang pengamatan saya dilapangan menunjukkan bahwa permukiman yang ada di Desa Jaten merupakan permukiman yang tergolong padat, serta didominasi oleh permukiman dengan model perumahan (gambar 4). Dan hal ini diperkirakan akan terus bertambah dengan seiringnya kemajuan daerah yang mempengaruhinya, yakni Kota Surakarta yang akan dijelaskan di pembahasan selanjutnya. 

Gambar 4. Permukiman model perumahan yang ada di Desa Jaten 

Tumbuhnya permukiman di Desa Jaten ini diakibatkan oleh banyaknya kaum urbanit yang berpindah dari daerah asal mereka. Alasan para kaum urban untuk bertempat tinggal di daerah pinggiran kota seperti Desa Jaten adalah mereka memiliki pekerjaan di Kota Surakarta sehingga biaya transportasi ke tempat kerja akan lebih murah, sementara jika mereka harus bertempat tinggal di Kota Surakarta harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal atau kalau tidak demikian karena ketidaktersediaan ruang menyebabkan mereka memilih daerah pinggiran kota Surakarta sebagai tempat tinggal. 

Kemudian munculnya pabrik atau industri di Desa Jaten menunjukkan adanya potensi pada daerah ini bagi para pengembang, sehingga memberanikan diri untuk membangun pabrik dalam skala besar serta dalam jangka waktu yang panjang di daerah ini. Pemilihan Desa Jaten sebagai lokasi industri didasari oleh letak daerah ini yang berada di daerah pinggiran Kota Surakarta sehingga mereka mengharapkan akan adanya aksesbilitas dan arah pemasaran produk mereka yang baik, dan selain itu mereka memilih lokasi industri di Desa Jaten dengan alasan harga tanah yang murah sehingga akan mengurangi biaya industri yang akan mereka keluarkan. Industri – industri ini meliputi industri besar mapupun industri kecil, serta diramaikan juga dengan sektor perdagangan yakni dengan maraknya kemunculan minimarket di Desa jaten. 

Dari semua hal diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan kota yang terjadi di Desa Jaten adalah perkembangan kota dengan mengikuti pola jalur transportasi yaitu jalan raya jurusan Jakarta, yang sekaligus merupakan jalan utama Kabupaten Karanganyar dan jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta. 

Progres perkembangan kota jika dilihat dari citra satelit mulai tahun 2004 hingga 2009, sebenarnya cukup signifikan. Indikatornya adalah mulai bertambahnya luasan permukiman di bagian barat Desa Jaten dan mulai berdirinya industri di bagian utara Desa Jaten.Perkembangan permukiman/bangunan di Desa Jaten ini juga terjadi fenomena lompatan katak (leaf frog), yakni perkembangan permukiman yang mirip dengan lompatan katak karena ada jeda/selang dari permukiman yang lain. Aksesbilitas di Desa Jaten ini juga baik, karena dilewati oleh jalan raya besar yang menghubungkan Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta. 

  • Kondisi Sosial-Ekonomi 
Keadaan sosial ekonomi sebuah masyarakat dapat ditunjukkan dari besar penghasilan serta strata (tingkatan) sosial yang dimiliki oleh tiap – tiap individu masyarakat. Besar penghasilan sering diidentikkan dengan barang – barang yang dimiliki, seperti kendaraan bermotor (sepeda motor atau mobil) dan rumah. Kemudian bagaimana dengan keadaan sosial ekonomi dari sudut pandang demikian dari daerah perkotaan. Daerah perkotaan sering kali dicirikan dengan keadaan sosial ekonomi yang tinggi, yaitu rumah yang bagus atau mewah disertai dengan mobil, serta pekerjaan yang mapan. Jika gambaran masyarakat perkotaan seperti demikian maka dalam mengidentifikasi keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada disuatu daerah apakah termasuk jenis masyarakat perkotaan ataukah masyarakat pedesaan dapat menggunakan indikator – indikator tersebut, sekali lagi meliputi rumah, kendaraan bermotor, dan jabatan/strata sosial (jabatan pada umumnya akan disejajarkan dengan barang – barang yang dimiliki seseorang, semakin tinggi jabatannya atau semakin besar penghasilannya maka barang – barang yang ia miliki juga semakin banyak atau bagus/mewah). 

Berdasarkan hal – hal diatas, maka Desa Jaten sebagai studi kasus dalam kajian perkembangan kota ini memiliki hal – hal yang telah disebutkan diatas yang mencakup ciri – ciri masyarakat kota. 
Dari 11 titik pengamatan yang saya gunakan, 8 diantaranya merupakan titik pengamatan untuk permukiman, dan hasilnya seperti yang dapat dilihat pada gambar 8 diatas. Berdasarkan hasil pengamatan, tempat tinggal (rumah) masyarakat Desa Jaten mulai didominasi oleh model – model rumah seperti yang ditunjukkan pada gambar 8 yaitu model perumahan. Sebagian besar diantaranya menunjukkan ciri – ciri sebagai masyarakat kota seperti permukiman yang padat, rumah yang mewah, kepemilikan kendaraan bermotor berupa mobil atau sepeda motor (hal ini ditunjukkan pula pada kepemilikan garasi pada rumah – rumah masyarakat), dan sangat dimungkinkan pemiliki rumah merupakan seorang yang memiliki pekerjaan yang mapan. 

Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan kota di Desa Jaten yakni lebih disebabkan adanya daya tarik Kota Surakarta terhadap daerah di sekitarnya. Kota Surakarta yang menjadi kota yang telah maju sebelumnya. Sehingga masyarakat yang tidak mampu untuk tinggal di Kota Surakarta akan tinggal di daerah pinggirannya, dengan alasan tidak tersedianya ruang maupun biaya. 

KESIMPULAN DAN SARAN 

Dari hasil observasi ke daerah penelitian serta pembahasan tentang hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa Desa Jaten merupakan daerah yang sedang mengalami perkembangan ke arah perkotaan dengan temuan di lapangan sebagai berikut ini, 
  1. Disepanjang jalan besar terdapat kios – kios/pertokoan serta layanan publik. 
  2. Banyaknya alih fungsi lahan dari sawah menjadi permukiman, baik dalam bentuk perumahan maupun biasa. (Namun, yang ditemui di lapangan mayoritas permukiman yang bertambah berupa perumahan). 
  3. Munculnya beberapa industri besar hingga kecil. 
  4. Berubahnya gaya hidup masyarakat yang ada di Desa Jaten ke arah gaya hidup perkotaan. 
Proses perkembangan ke arah kota di Desa Jaten memang belum terlihat untuk saat ini, akan tetapi melihat progresnya dari tahun ke tahun diperkirakan akan mengalami perkembangan yang pesat di tahun – tahun mendatang yakni disaat Kota Surakarta sebagai daerah inti kota mengalami masa – masa perkembangan yang lebih maju, sehingga diperkirakan daerah pinggiranlah yang akan menerima dampaknya termasuk Desa Jaten. Dampak yang akan diterima yaitu peningkatan kepadatan penduduk yang diikuti oleh kepadatan permukimannya. Kepadatan penduduk tersebut akan mengakibatkan juga tingginya angka kecelakaan dan tingkat kriminalitas di daerah tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya manajemen yang baik dari pihak pemerintah Kabupaten Karanganyar agar dalam perkembangannya Desa Jaten dan daerah – daerah pinggiran lainnya tidak mengalami gangguan atau hambatan yang cukup berarti serta terus memantau dan menyelesaikan permasalahan yang timbul. 

REFERENSI 
Giyarsih, Sri Rum. 2009. “Gejala Urban Sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta”. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 
Munandar, Aris. 1996. “Proses Pengkotaan dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Pinggiran Kota Jakarta: Suatu Studi Tentang Proses Pengkotaan, Perubahan Sistem Pemilikan Dan Tata Guna Tanah, Perubahan Struktur Okupasi, dan Perubahan Sosial Budaya Di Desa Bojonggede Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor”. Jakarta : Program Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial Universitas Indonesia
Yoga Prismanata

Saya adalah seorang penggiat di dunia pendidikan. Konsentrasi saya sekarang ialah dalam hal teknologi pendidikan dan pendidikan geografi. Saya sangat suka dalam menciptakan karya, baik berupa tulisan maupun media pembelajaran.

6 Komentar

Kami ucapkan terima kasih telah mengunjungi dan membaca tulisan di website kami. Silahkan sampaikan kritik, saran, dan diskusi melalui kolom komentar.

Lebih baru Lebih lama