Karakteristik Peserta Didik Ditinjau dari Fase Perkembangan

Gambar. Karakteristik Peserta Didik


Pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan untuk membelajarkan si belajar atau peserta didik. Pada konteks pembelajaran, peserta didik merupakan aktor utama yang perlu dipahami karakteristiknya sehingga guru sebagai sutradara mampu merumuskan strategi pembelajaran yang tepat untuk mereka. Karakteristik peserta didik adalah latar belakang pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik. Karakteristik peserta didik tersebut berpengaruh terhadap efektivitas proses belajarnya. Analisis terhadap karakteristik peserta didik merupakan hal pertama yang harus dilakukan sebelum pendidik menyusun strategi pembelajaran. Rumusan strategi pembelajaran harus sesuai dengan karakteristik peserta didik, sehingga pendidik dapat melaksanakan pembelajaran yang tepat untuk kebutuhan mereka. Jika tahapan awal tersebut tidak dilaksanakan maka pembelajaran dimungkinkan akan menjadi tidak tepat atau gagal. Pada poin ini kita dapat menyimpulkan bahwa karakteristik peserta didik merupakan salah satu variabel penting dalam merumuskan strategi pembelajaran.

Karakteristik peserta didik dapat dilihat melalui psiko-fisik yang mereka miliki. Aspek psikologis yang dapat digunakan untuk meninjau karakteristik peserta didik ialah kemampuan diri baik bersifat potensial maupun nyata yang dimiliki serta kepribadiannya, seperti sikap, emosi, motivasi, dan sebagainya. Beberapa hal yang dapat digali berdasarkan aspek psikologis seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman, pengalaman yang relevan, persepsi, kebutuhan yang dirasakan, dan kemungkinan lain yang berkaitan dengan peserta didik. Berdasarkan aspek psikologi tersebut, karakterisik peserta didik dapat digali secara lebih spesifik melalui fase perkembangan individu yang dapat dikategorikan berdasarkan usia atau jenjang pendidikannya. Perkembangan merupakan proses perubahan kualitatif fungsi organ-organ dan bukan hanya dilihat dari perubahan organ-organ secara jasmani. Perkembangan tersebut digunakan untuk melihat perubahan-perubahan kualitatif mengenai aspek psikis dan aspek sosial, sehingga perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan fisik maupun psikologi yang dialami oleh setiap individu.

Secara konseptual, perkembangan dibagi menjadi dua jenis yaitu perkembangan secara fisik dan nonfisik. Pada artikel ini hanya akan membahas karakteristik peserta didik ditinjau dari perkembangan secara non-fisik. Hal tersebut sebagai upaya untuk lebih memahami lebih detail atau spesifik terkait karakteristik peserta didik dari beberapa hal seperti intelegensi, bahasa, emosi, sikap, dan sebagainya. 

Fase Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Jean Piaget merupakan seorang psikolog asal Swiss (1896-1980). Teori - teori yang disampaikan olehnya memiliki sumbangsih yang besar dalam pendidikan melalui bidang psikologi. Jean Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui 4 (empat) periode utama yang akan semakin meningkat seiring bertambahnya usia.
 
a. Periode Sensorimotor (Usia 0-2 Tahun)
Seorang bayi lahir dengan membawa beberapa refleks bawaan dan dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Jean Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spasial penting dalam 6 (enam) sub-tahapan seperti berikut :
  • Sub-tahapan skema refleks, tahapan ini muncul ketika lahir hingga usia 6 (enam) minggu. Tahapan ini berhubungan dengan refleks.
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, tahapan ini muncul ketika usia 6 (enam) minggu hingga 4 (empat) bulan. Tahapan ini berhubungan dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, tahapan ini muncul ketika usia 4 (empat) bulan hingga 9 (sembilan) bulan. Tahapan ini berhubungan dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
  • Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, tahapan ini muncul ketika usia 9 (sembilan) bulan hingga 12 (dua belas) bulan. Tahapan ini berkaitan dengan berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda jika dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  • Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, tahapan ini muncul ketika usia 12 (dua belas) bulan hingga 18 (delapan belas) bulan. Tahapan ini berhubungan dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
b. Periode Praoperasional (Usia 2-7 Tahun)
Jean Piaget mengemukakan bahwa setelah akhir usia 2 (dua) tahun akan mulai muncul jenis fungsi psikologis secara kualitatif. Pemikiran praoperasional adalah prosedur melakukan tindakan secara mental (pemikiran) terhadap objek-objek. Pada periode ini, anak belajar menggunakan dan merpresentasikan objek dengan gambar dan kata-kata. Pemikiran anak pada periode ini bersifat egosentris sehingga anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak mampu membuat klasifikasi objek berdasarkan ciri tertentu, seperti mengelompokkan benda warna kuning meskipun bentuknya berbeda-beda. Pada periode ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya dan merepresentasikan objek dengan kata-kata dan gambar. Intuisi lebih dominan digunakan dibandingkan dengan logika ketika anak pada periode praoperasional.

c. Periode Operasional Konkret (Usia 7-11 Tahun)
Periode ini muncul pada anak usia 7 (tujuh) hingga 11 (sebelas) tahun. Anak yang masuk pada periode ini sudah menggunakan logika secara memadai. Proses-proses yang terjadi pada periode ini ialah sebagai berikut :
  • Pengurutan, yaitu kemampuan berupa mengurutkan objek berdasarkan ukuran, bentuk, atau ciri-ciri lainnya.
  • Klasifikasi, yaitu kemampuan dalam memberi nama dan mengidentifikasi objek berdasarkan kategori tertentu, seperti tampilan, ukuran, dan sebagainya.
  • Decentering, yaitu kemampuan dalam membuat pertimbangan terhadap beberapa aspek permasalahan untuk dapat memecahkan masalah.
  • Reversibility, yaitu kemampuan dalam memahami bahwa jumlah atau objek-objek dapat diubah kemudian dapat kembali ke keadaan awal. Contoh : Anak-anak dapat memahami air dapat dibekukan kemudian dapat dicairkan kembali, anak dapat memahami 5 - 2 = 3 serta 3 +2 = 5.
  • Konservasi, yaitu kemampuan dalam memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah objek tidak berhubungan dengan tampilan dari objek tersebut. Hal tersebut berarti anak akan memahami bahwa suatu kuantitas atau jumlah tetap sama meskipun tampak berbeda. Contoh : Anak dapat memahami bahwa jumlah suatu adonan mainan akan tetap sama meskipun dibagi menjadi beberapa bagian, anak dapat memahami bahwa panjang satu buah coklat akan tetap sama meskipun sudah dibagi menjadi menjadi dua, dan seterusnya.
  • Penghilangan Egosentrisme, yaitu kemampuan dalam melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. 
d.  Periode Operasional Formal (Usia 11 Tahun - Dewasa)
Seseorang pada periode ini sudah mampu berpikir secara abstrak, nalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang ada. Pada aspek lain, seseorang pada periode ini mampu memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Selain itu, seseorang pada periode ini mampu memahami suatu aspek lebih luas dan mendalam, sehingga tidak hanya aspek yang secara tegas terlihat akan tetapi ia mampu melihat hal-hal yang sifatnya "abu-abu". Akan tetapi, beberapa individu tidak dapat sepenuhnya mencapai hingga perkembangan periode operasional formal, sehingga ia tidak memiliki keterampilan sebagai orang dewasa serta tetap menggunakan penalaran sebagaimana pada periode operasional konkret.

Fase Perkembangan Menurut Hurlock

Elizabeth B. Hurlock adalah seorang psikolog dan penulis dalam bidang psikologi perkembangan. Hurlock dalam bukunya yang berjudul Development Psychology membagi tahapan perkembangan mulai dari prenatal hingga dewasa. Fase perkembangan menurut Hurlcok ialah sebagai berikut :

a. Masa Prenatal
Masa ini berlangsung mulai konsepsi (pembuahan) hingga masa sebelum seorang anak dilahirkan, biasanya usia 9 bulan. Masa ini terjadi ketika anak masih berada di kandungan ibunya.

b. Masa Natal
Pada masa ini terdapat tiga fase, diantaranya ialah sebagai berikut :
  • Infancy atau neonatus (dari lahir hingga usia 2 minggu). Fase ini merupakan tahap penyesuaian terhadap lingkungan, yaitu bayi mengalami masa yang tenang serta tidak banyak mengalami perubahan.
  • Fase bayi (2 minggu hingga 2 tahun). Pada fase ini seorang individu awalnya masih sangat bergantung pada lingkungan, akan tetapi lama-kelamaan ia dapat berusaha melepaskan diri dan belajar berdiri sendiri (independen).
  • Fase anak (2-10/11 tahun). Pada fase ini, anak masih dikatakan belum dewasa (immature). Karakter anak yang terlihat pada fase ini menyesuaikan dengan lingkungannya. Mereka merasa menjadi sebagian dari lingkungan yang ada. Pada fase ini anak mulai banyak bertanya terkait hal yang ia ragukan dan ingin tahu.
c. Masa Remaja
Masa ini merupakan transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa remaja dibagi menjadi tiga fase berikut :
  • Praremaja (11/12 - 13/14 tahun). Fase ini memiliki kurun waktu yang pendek, kurang lebih hanya satu tahun. Anak laki-laki mengalami fase ini pada usia 12/13 - 13/14 tahun, sedangkan anak perempuan pada usia 11/12 - 12/13 tahun. Pada fase ini anak cenderung berperilaku negatif dan sulit dibimbing oleh orangtua.
  • Remaja awal (13-14 - 17 tahun). Pada fase ini terjadi perubahan fisik yang sangat pesat. Terdapat banyak ketidakseimbangan atau ketidakstablisan emosional pada fase ini. Individu yang memasuki fase ini berusaha mencari identitas diri. Pada fase ini pola-pola interaksi sosial mulai mengalami perubahan.
  • Remaja lanjut (17 - 20/21 tahun). Seorang individu yang berada pada fase ini selalu berusaha menjadi pusat perhatian dan ingin menonjolkan diri. Ia idealis, memiliki target atau cita-cita yang tinggi, bersemangat, serta memiliki energi yang besar. Pada fase ini seorang individu berusaha memantapkan identitas dirinya.
d. Masa Dewasa
Masa ini merupakan fase perkembangan akhir dari seorang individu. Pada masa dewasa dibagi menjadi tiga fase berikut :
  • Dewasa awal (21-40 tahun). Fase ini merupakan tahapan seorang individu untuk melakukan penyesuaian terhadap pola hidup yang baru serta mengembangkan sifat-sifat atau nilai-nilai yang baru. Pada fase ini mereka mulai memiliki harapan untuk menikah, memiliki anak, mengurus keluarga, membuka karir, dan mencapai prestasi tertentu.
  • Dewasa menengah (40-60 tahun). Fase ini merupakan tahap transisi, menyesuaikan kembali, dan equilibrium-disquilibrium (keseimbangan-ketidakseimbangan). Fase ini merupakan tahapan yang mendekati masa tua, sehingga mengalami penurunan atau kehilangan bereproduksi khususnya bagi wanita.
  • Dewasa akhir (60-65 tahun). Fase ini merupakan tahapan menuju usia tua. Pada fase ini, seorang individu sudah mulai menyesuaikan diri sejalan dengan penurunan fisik dan kesehatan, serta menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Perkembangan Intelektual

Kecerdasan atau intelektual dapat dipahami sebagai kemampuan untuk berpikir, memahami, bertindak secara terarah dan tepat. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, maka intelektual merujuk pada istilah kognitif. Perkembangan intelektual secara konteks memiliki persamaan dengan perkembangan kognitif. Aspek kognitif pada manusia melibatkan proses mental meliputi kegiatan berpikir, mengingat, dan memecahkan masalah. Perkembangan intelektual manusia akan berkembang seiring dengan pertumbuhan saraf pada otak, karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak yang dimiliki manusia. Tingkat perkembangan intelektual tersebut juga akan terwujud pada perilaku seorang individu terkait tindakan menolak atau memilih sesuatu. Tindakan tersebut sebagai sebuah hasil dari proses analisis, evaluasi, hingga proses menarik kesimpulan serta keputusan. Tingkat perkembangan intelektual ini akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman serta pengetahuan dari proses belajar yang dilakukannya. Pada tingkat perkembangan tertinggi, seorang individu akan memiliki kemampuan dalam melakukan prediksi, perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan sitesis yang lebih kompleks. Perkembangan seperti demikian disebut sebagai perkembangan kognitif.

Salah satu ukuran tingkat perkembangan intelektual atau intelegensi seorang individu menggunakan penghitungan berupa perbandingan antara kecerdasan mental atau usia mental (mental age) dan usia kalender (chronogical age). Pengukuran tipe ini dikembangkan oleh psikolog jerman bernama William Stern, yang kita kenal dengan nama Intelligence Quotient (IQ). Rumus penghitungan IQ disajikan sebagai berikut :


Konsep terkait perkembangan kognitif banyak diambil dari teorinya Jean Piaget. Piaget mengelompokkan fase perkembangan kognitif menjadi empat tahap, yaitu sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan operasional formal. Konsep detail terkait fase perkembangan kognitif menurut Jean Piaget sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Akan tetapi, garis besar terkait fase perkembangan kognitif dari Jean Piaget dapat dilihat pada tabel berikut :

Tahap

Umur

Karakteristik

Sensorimotor

0 – 2 tahun

-       Perilaku didasarkan pada reflek bawaan.

-       Dorongan untuk mengekplorasi lingkungan.

Praoperasional

2 – 7 tahun

-       Egosentris.

-       Penggunaan gambar dan kata-kata untuk merepresentasi objek.

-       Memiliki kemampuan untuk mengklasifikan objek dengan ciri tertentu.

Operasional Konkret

7 – 11 tahun

-       Mampu menggunakan logika secara memadai, seperti pengurutan, klasifikasi, reversibel, konservasi, pemecahan masalah, dan sebagainya.

-       Penghilangan egosentrisme.

Operasional Formal

11 tahun – dewasa

-       Mampu berpikir secara abstrak

-       Logis dan probabilitas

-       Hipotesis dan menarik kesimpulan


Terdapat beberapa pandangan terkait intelegensi yang dimiliki setiap individu. Pandangan pertama menyatakan bahwa intelegensi merupakan faktor bakat (nativisme), pandangan kedua menyatakan bahwa intelegensi merupakan faktor lingkungan (empirisme), dan pandangan ketiga menyatakan bahwa intelegensi ditentukan dari bakat dan dipengaruhi oleh linkungan (konvergensi). Pada dasarnya intelegensi tidak mudah diukur artinya sulit menggambarkan suatu kecerdasan dengan skala kuantitatif atau angka. Seorang individu selalu mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga intelegensi seseorang tidak dapat berlaku secara konstan.

Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan produk budaya yang muncul setelah manusia mengenal tulisan. Bahasa sendiri merupakan suatu sistem lambang bunyi yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu sebagai alat komunikasi dalam interaksi sehari-hari. Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan untuk proses pengiriman pesan dari satu orang ke orang lain. Aspek bahasa dalam konteks perkembangan manusia menjadi sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa akan selalu berkembang seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sejak usia dini hingga dewasa. Perkembangan bahasa pada anak terjadi melalui beberapa aktivitas, seperti mendengar, melihat, dan meniru orang di sekitarnya. Sebagian besar kemampuan berbahasa yang dimiliki anak berasal dari pembelajaran yang dilakukan oleh orang dewasa. Kemampuan berbahasa juga bergantung pada tingkat perkembangan fisiknya secara biologis, sehingga apabila perkembangan fisiknya belum masuk ke tahap tertentu maka kemampuan bahasanya juga tidak dapat dipaksakan.

Tahap perkembangan bahasa seorang individu dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu pralinguistik dan linguistik. Konsep terkait kedua tahap tersebut akan disajikan sebagai berikut :

1. Tahap Pralinguistik
Tahap ini menjadi tahap awal seorang bayi mencoba melakukan komunikasi dengan orang disekitarnya. Tahap ini terjadi pada saat seorang bayi berusia 0 - 1 tahun. Komunikasi pertama seorang bayi yang baru lahir berupa tangisan dan senyuman. Pada tahap ini, seorang bayi berkomunikasi dengan cara menangis, menjerit, dan tertawa. Pada bulan-bulan berikutnya, Ia akan mampu mengoceh meskipun belum menggunakan kata-kata yang sebenarnya seperti oh, ah, ha, da da, ba ba, dan seterusnya. Seiring dengan bertambahnya usia, Ia akan mulai belajar melakukan komunikasi dengan kata-kata.

2. Tahap Linguistik
Seorang anak pada tahap ini sudah mampu mengucapkan kata-kata yang menyerupai ucapan orang dewasa. Perkembangan bahasa pada tahap ini kemudian dikelompokkan berdasarkan usianya seperti berikut :

  • Usia 1 - 3 Tahun
Anak pada usia ini mampu mengucapkan kata pertamanya meskipun belum berupa kalimat yang lengkap, seperti yah (ayah), mam (makan), atit (sakit), dan sebagainya. Ketika anak memasuki usia 17 bulan, secara umum anak mulai menggunakan satu atau beberapa kata yang ia pahami untuk menyampaikan keinginannya, seperti "makan" yang dapat diartikan dia ingin makan suatu makanan tertentu. Pada usia ini, anak mulai mampu menirukan kata yang didengar dari orang lain, sehingga orang tua perlu menjadi role model yang baik ketika anak mencapai usia ini.

  • Usia 3 - 4 Tahun
Perkembangan bahasa anak semakin meningkat setelah memasuki usia 3 tahun. Pada tahap ini seorang anak sudah mampu berkomunikasi dengan sebayanya, serta sudah aktif melakukan percakapan dengan orang lain meskipun beberapa kata belum berhasil diucapkan dengan jelas. Pada usia ini mereka biasanya mengucapkan kata dengan menghilangkan konsonan awal dan/atau akhir. Contohnya, mereka mengatakan "ebek" ketika ingin mengucapkan kata "bebek". Anak disarankan memulai prasekolah atau PAUD ketika usia ini, karena dapat mengoptimalkan proses perkembangan anak. Mereka akan mulai mengenal orang-orang baru, seperti teman sebayanya dan guru.

  • Usia 4 - 5 Tahun
Pada usia ini anak sudah dapat membedakan kata kerja dan kata ganti, seperti makan, mandi, sakit, ayah, ibu, mau, dan sebagainya. Selain itu, anak juga sudah mampu menyampaikan kritik, bertanya, menyuruh, memberitahu, dan sebagainya.

  • Usia 5 - 6 Tahun
Pada usia ini, anak memiliki kemampuan berbicara dengan lancar serta dapat menggunakan bahasa secara deskriptif, seperti mengatakan nama lengkap, alamat rumah, hobi, lagu, dan sebagainya. Anak sudah mampu bercerita tentang kisah atau kejadian sederhana dengan menggunakan kalimat yang lengkap. Kosakata yang dapat dimiliki oleh anak pada usia ini sekitar 2000 - 4000 kata.

Perkembangan Emosi

Emosi adalah perasaan atau afeksi yang muncul dalam diri seseorang sebagai respons terhadap suatu situasi atau stimulus tertentu. Perasaan ini bisa memengaruhi pikiran, persepsi, dan perilaku seseorang. Emosi juga dapat mempengaruhi penalaran dan pertimbangan objektif yang dilakukan oleh seorang individu, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi pemikiran dan tingkah lakunya. Pada poin ini dapat disadari perlunya memahami perkembangan emosi peserta didik sebagai upaya untuk mengantisipasi perilaku-perilaku yang dapat menghambat proses belajarnya. Gejala-gejala emosional yang biasanya sering muncul ialah marah, malu, takut, bangga, cinta, benci, cemas, putus asa, dan sebagainya.

Terdapat dua jenis emosi, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif meliputi perasaan senang, bersemangat, rasa ingin tahu, dan sebagainya. Emosi positif akan membuat peserta didik mudah berkonsentrasi ketika belajar, serta melahirkan antusiasme. Sedangkan emosi negatif meliputi perasaan takut, cemas, sedih, iri, marah, dan sebagainya. Bertolak belakang dengan emosi positif, emosi yang sifatnya negatif ini cenderung membuat kondisi belajar tidak maksimal karena peserta didik dalam keadaan yang tidak cukup siap untuk menerima pesan pembelajaran. Emosi negatifnya akan membentuk perilaku yang cenderung menolak semua pesan atau informasi ketika belajar. 

Jika dikelompokkan berdasarkan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh, maka karakteristik perkembagnan emosi seorang individu secara garis besar ialah sebagai berikut :

a. Fase Anak-anak atau Usia TK hingga SD
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021, usia peserta didik ketika masuk TK A berkisar 4 - 5 tahun, TK B berkisar 5 - 6 tahun, sedangkan untuk SD 6 - 7 tahun. Fase anak-anak (TK hingga SD) menurut peraturan tersebut terjadi pada seorang individu pada rentang usia 4 - 12 tahun. Pada usia TK, seorang individu wujud emosi tersebut akan muncul dalam kerjasama dan persaingan. Pada usia ini anak-anak menunjukkan kemurahan hati, simpati, empati, ketergantungan, ramah, dan menampakkan perilaku kelekatan (attachment). Pada usia SD, seorang individu sudah mulai belajar mengatur emosi dari meniru dan latihan dari orang tuanya atau gurunya.

Emosi yang muncul pada usia ini cenderung menggunakan ekpresi yang kuat biasanya diwujudkan dalam gestur atau gerakan, akan tetapi berlangsung dalam waktu yang singkat serta cepat berubah. Anak-anak mampu menyesuaikan tingkat emosi terhadap lingkungannya, serta dilakukan berulang-ulang. Contohnya, ketika seorang anak masih merasa malu di tempat yang relatif baru baginya, tetapi lama kelamaan akan menjadi biasa saja atau lebih berani.  Pada fase ini, anak akan cenderung memperlihatkan keinginan yang kuat terhadap apa yang dia inginkan. Jika keinginan tersebut tidak terpenuhi makan dia akan menunjukkan emosinya, dapat berupa marah, sedih, dan sebagainya. Akan tetapi, jika keinginan tersebut terpenuhi maka dia akan merasa bahagia dan tersenyum.

Pada usia ini, anak-anak cenderung bahagia, ceria, dan optimistik. Akan tetapi emosi yang lain seperti marah, takut, rasa bersalah, fustasi, dan cemburu, dapat muncul akibat hal-hal yang dirasa kurang menyenangkan baginya. Pada usia anak-anak akhir atau menjelang dia remaja, mereka sudah mampu mengendalikan luapan emosi dari suatu hal yang sulit dia terima.

b. Fase Remaja atau Usia SMP hingga SMA
Jika mengacu pada rata-rata akhir usia SD di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021, maka seorang individu akan memasuki SMP pada usia 13 - 15 tahun, dan akan memasuki SMA pada usia 16 - 18 tahun. Perkembangan masa remaja merupakan fase perubahan yang cukup drastis, baik dari segi fisik maupun psikologis. Perkembangan emosi pada fase ini seringkali dipengaruhi oleh perkembangan fisiknya, contohnya seorang remaja wanita akan cepat marah atau tersinggung ketika masa menstruasi. Seiring dengan perkembangan fisik, seringkali remaja mengalami kendala dalam menyesuaikan diri sehingga mereka terkadang merasa terasing, menyendiri, dan merasa tidak ada yang peduli.

Pada fase ini muncul sikap memberontak dan semakin memperbesar ego serta emosinya. Usia SMP merupakan puncak emosi yang tinggi, muncul perasaan cinta, sensitif, reaktif terhadap peristiwa, emosi yang cenderung negatif, dan tempramental. Pada usia SMA atau remaja akhir, anak sudah mampu mengendalikan emosi secara lebih baik. Pada usia ini, anak mulai diberikan kepercayaan oleh orang tuanya dan masyarakat. Mereka dinilai telah mulai mampu bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri.





Referensi :
Haryanto. 2015. Teknologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Irene Maya Simon, dkk. 2021. Perkembangan Peserta Didik. Malang: LPPP Universitas Negeri Malang
Pupu Saeful Rahmat. 2018. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara


Yoga Prismanata

Saya adalah seorang penggiat di dunia pendidikan. Konsentrasi saya sekarang ialah dalam hal teknologi pendidikan dan pendidikan geografi. Saya sangat suka dalam menciptakan karya, baik berupa tulisan maupun media pembelajaran.

Posting Komentar

Kami ucapkan terima kasih telah mengunjungi dan membaca tulisan di website kami. Silahkan sampaikan kritik, saran, dan diskusi melalui kolom komentar.

Lebih baru Lebih lama